Pada tulisan sebelumnya yang berjudul Karakteristik Masyarakat Desa dan Kota berdasarkan Teori Sosiologi (Bagian 1), telah disebutkan salah satu perbedaan karakteristik masyarakat desa dan kota adalah berdasarkan mobilitas sosial yang merupakan gerak dari satu posisi sosial ke posisi sosial lainnya.
Mobilitas sosial dibagi menjadi 2 yaitu:
a. bersifat vertikal berupa pergeseran status dari lapisan sosial yang satu ke lainnya, seperti peningkatan jabatan dalam pekerjaan (formal) dan biasanya dibarengi dengan peningkatan pendapatan atau penghasilan,
b. bersifat horizontal berupa perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota) dan transmigrasi (perpindahan penduduk dari wilayah yang padat ke wilayah jarang penduduk untuk pemerataan pembangunan).
Kali ini saya akan membahas dampak dari mobilitas sosial tersebut terutama dampak dari urbanisasi dimana kota besar seperti Jakarta dianggap sebagai tempat yang menjanjikan dalam mengais rejeki bila dibandingkan dengan desa karena banyak pilihan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan baik formal maupun informal dan apabila beruntung dapat merubah nasib seseorang yang tadinya hidup miskin dan serba kekurangan menjadi kaya dan berkecukupan secara ekonomi.
Namun hal tersebut tidak seindah yang dibayangkan dan bahkan memunculkan permasalahan baru diperkotaan, antara lain:
1. Perumahan kumuh yang tidak layak huni.
Bertambahnya jumlah penduduk diperkotaan (akibat urbanisasi) menimbulkan permasalahan dalam pemenuhan lahan untuk perumahan. Seperti kita ketahui, lahan diperkotaan banyak digunakan untuk pembangunan jalan umum maupun jalan bebas hambatan (tonton video jalan tol dalam kota), gedung perkantoran, pusat perbelanjaan atau hiburan (termasuk Ruang Terbuka Hijau/RTH), tempat wisata (tonton video perjalanan menuju Ancol via jaan tol) dan lainnya menyebabkan harga lahan atau tanah diperkotaan sangat mahal (karena kebutuhan akan rumah bertambah namun jumlahnya terbatas) sehingga banyak masyarakat yang tidak sanggup membeli tanah untuk membangun rumah atau tempat tinggal.
Salah satu upaya dalam mengatasi masalah perumahan ini adalah dengan cara pembangunan rumah vertikal seperti rumah susun atau rusun (biasanya dibangun oleh Pemerintah Pusat atau Daerah) ataupun yang lebih elite lagi disebut apartemen (dibangun pihak swasta dan bersifat komersial). Harga 1 unit apartemen (menurut saya) cukup mahal (bahkan untuk tipe studio) karena umumnya berlokasi di pusat kota dengan akses yang terintegrasi dengan fasilitas lainnya seperti area perkantoran, pusat perbelanjaan (beberapa apartemen dibangun diatas pusat perbelanjaan atau mall), Rumah Sakit, jalan tol dan lain-lain sehingga mereka yang memiliki mobilitas tinggi tidak perlu membuang waktu dijalan karena lokasi tempat tinggal mereka dekat dengan fasilitas-fasilitas tersebut dan fasilitas transportasi umum yang terintegrasi seperti Stasiun KRL, MRT, LRT dan halte busway/trasjakarta.
Namun bagi sebagian masyarakat dengan ekonomi rendah atau berpenghasilan kecil dan tidak tetap, mereka tidak sanggup membeli ataupun menyewa rumah susun yang ada sehingga banyak dari mereka memilih tinggal dipinggiran sungai, rel kereta (tonton video [Cab View] untuk melihat perumahan di pinggir rel kereta), kolong jembatan dan lain-lain. Ada yang membangun tempat tinggal semi permanen dari triplek ataupun bahan seadanya, ada juga yang membangun tempat tinggal dari kardus yang penting bisa beristirahat dan bahkan ada yang berpindah-pindah tempat (nomaden) dengan membawa gerobak dan akan mencari tempat atau lahan kosong untuk beristirahat.
Tonton juga video [Cab View] dari Stasiun Duri s.d Tanah Tinggi untuk melihat perumahan di pinggir rel kereta.
Perumahan (kumuh tidak layak huni) tersebut dapat menimbulkan beberapa permasalahan bagi masyarakat yang tinggal disana terutama kesehatan, yaitu:
- pada umumnya perumahan kumuh berukuran kecil, berdempetan satu dengan lainnya, tanpa jendela untuk sirkulasi udara dan berada di gang-gang sempit yang hanya cukup untuk jalan motor atau orang. Dari segi kesehatan, rumah tanpa sirkulasi udara yang baik akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti pernafasan, terlebih lagi masyarakat berpenghasilan rendah tidak punya cukup uang untuk membeli makanan bergizi yang dapat membantu imun tubuhnya,
- minimnya akses terhadap air bersih (baik kualitas dan kuantitas) sehingga masyarakat melakukan kegiatan rumah tangga seperti mencuci baju dan peralatan makan, mandi dan lainnya di sungai. Selain itu, karena berukuran kecil, pada umumnya perumahan kumuh tidak memiliki toilet atau kamar mandi di dalam rumah. Apabila tidak ada fasilitas umum yang menyediakan toilet atau kamar mandi umum, maka kegiatan tersebut dilakukan di sungai (maka dari itu sebagian besar perumahan kumuh berada dipinggiran sungai). Hal yang mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit seperti diare, kolera dan disentri akan terjadi dengan sangat cepat,
- keterbatasan lahan didaerah perumahan kumuh juga menyebabkan terbatasnya ruang terbuka hijau dan tempat bermain anak sehingga tidak jarang mereka melakukan kegiatan olah raga seperti bermain bola ditempat seadanya atau bahkan di dekat jalan raya yang memungkinkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Permasalahan lain yang muncul akibat adanya rumah-rumah yang dibangun dipinggir sungai adalah banjir akibat meluapnya air sungai (terutama pada saat musim hujan) namun pemerintah kesulitan dalam melakukan normalisasi sungai dengan cara pengerukan sedimen, pelebaran sungai, dan upaya–upaya lainnya untuk mengembalikan fungsi sungai.
Hal ini juga diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang sering membuang sampah di sungai, tidak hanya sampah rumah tangga yang berukuran kecil (bungkus sabun setelah melakukan aktifitas di sungai) namun juga perabotan rumah tangga seperti furniture, kasur dan barang lainnya.
Untuk bagian pertama terkait permasalahan di perkotaan saya cukupkan dulu sampai disini, nantikan tulisan selanjutnya.
Akhir kata, selamat berkarya dan sukses selalu dimanapun kita berada :D







Komentar