Merenda Asa Di Bukit Patuk Sekarang kau pergi menjauh, sekarang kau tinggalkan aku disaat ku mulai mengharapkanmu… Mentari merambati senja bersanding mendung di Yogyakarta. Semilir angin dingin menghembusi sebuah warung terbuka temaram. Lirik lagu dari Rossa berjudul Aku Bukan Untukmu tadi terlantun pasrah dari bibir sang penyanyi. Malangnya tembang itu makin membekukan hati si pemilik warung itu. Seperti juga malam-malam sebelumnya, lagu yang berkumandang disana selalu saja melankolis. Beberapa kaset VCD yang tertata rapi dalam kotak plastik seperti no woman no cry hingga bang Thoyib pun menjadi “lagu kebangsaan” di warung tadi. Macam lagu yang menyisipkan lirik bertema rasa sepi dan nelangsa. Cocok dengan dengan suasana benak si pemilik itu ataupun pengunjung yang mampir disana. Tak banyak yang menyadari, di balik keindahan Bukit Patuk yang dikenal luas oleh public, ada semacam kegetiran asa untuk bertahan hidup.
Namun mereka justru memegan peran kunci dalam sektor riil pendapatan daerah selama ini. Kurun waktu satu tahun terakhir, sejak bencana gempa bumi melanda Yogyakarta dan sekitarnya, kehidupan mereka seolah hilang dalam hitungan menit. Sebuah kenangan yang pahit tuk dikenang. Momentum krisis ini menjadi puncak dimana banyak orang yang sangat butuh pekerjaan sekedar untuk mengisi kekosongan perut. Dengan mendirikan lapak-lapak kecil nan sederhana, peluang usaha pun mulai terbuka. Ditinggal istri dan derita anak Seiring perjalanan waktu, himpitan ekonomi mulai merangsek ke nadi bahtera rumah tangga. Kenyamanan rumah tangga yang telah lama dibina akhirnya menyisakan guratan-guratan miris di dada.
Teknik pembuatan nasi bakar sendiri bisa menjadi tak biasa karena dilapisi daun pisang. Hanya dengan merogoh kocek sebesar tujuh ribu rupiah per porsi kita dapat meyantap hidangan itu. Dan harus di ingat, nasi bakar ini hanya tersedia di hari Sabtu dan Minggu. Anda beminat mencobanya?? Merenda Asa Hawa sejuk khas pegunungan memapar badan kian terasa, menyusup ke tiap nadi membawa gairah relaksasi. Berada di dataran tinggi, dikelilingi bukit, tanah yang subur, dan air yang mengalir tiada henti. Sejauh mata memandang terlukiskan keindahan kilauan cahaya lampu sudut kota memberikan eksotis tersendiri. Warung yang memiliki nama “Aleegree Allegreebee” ini menggambarkan harapan bagi Pak Hadi dalam mengarungi kehidupan bersama kedua anaknya. Sembari mengucir rambutnya yang panjang terurai, beliau bertanya kepada kami arti dari Allegree Allegreebee itu sendiri, tawa lepas pun meluncur mendengar ucapannya karena beliau sendiri tidak tahu, apalagi kami. Akhirnya beliau berseloroh “Seandainya ada orang yang mengerti arti dari Alleegree Alleegreebee, tolong saya dikasih tau” ujarnya dengan polos. Sengaja dia membangun tempat di bibir bukit dengan alasan agar terhindar dari polusi kendaraan dan bisa menikmati pemandangan. Kenyataan pendapatannya yang tak menentu ditiap harinya beliau tetap setia menekuni usahanya dengan penuh suka cita dan ketekunan. Banyak pengalaman menarik dialaminya, dari sering hilangnya barang dagangan hingga dikerjain makhluk halus membuat beliau semakin tegar. “Dibantu anak nomor dua yang masih sekolah sudah bikin hati saya tenang” paparnya sambil menghisap rokok. Hal yang terpenting dan menjadi harapannya kedepan adalah diberikan kesehatan bagi diri dan anaknya oleh Allah Swt dan melihat anak nomor duanya menyelesaikan sekolah. Serta mendapat perlindungan hukum terhadap tempat ini dan dukungan dari semua pihak, termasuk instansi pemerintah yang terkait menjadikan Bukit Patuk ini aset positif dalam berbagai hal sehingga keseimbangan masyarakatnya menjadi lebih baik, karena selama ini masih banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan lahan ini sebagai ajang pungutan liar berkedok retribusi. Disela-sela akhir perjumpaan kami dengan sosok ayah bagi dua orang anaknya berpesan “Tanamlah kebaikan selalu, karena sekecil apapun kebaikan itu pasti akan dibalas”
Komentar