Sudah berulang kali ku pencet tombol remote control TV ku tapi tetap saja semua saluran TV sedang menyiarkan berita tentang banjir yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia
salah satunya adalah Jakarta, Padahal aku sedang menunggu film kartun kesukaanku.
Akhirnya aku menggerutu sendirian karena kesal, “Aduh...kok nggak ada Shinchan sih.”
“Ada apa Mir, kok marah-marah sendirian,” tiba-tiba ayah sudah berdiri dibelakangku.
“Lihat tuh, muka kamu jadi jelek kalau sedang marah begitu,” kata ayah sambil tersenyum menggodaku.
“Eh..ayah sudah pulang dari kantor,” jawab ku sambil mencium tangan ayah.
“Ini yah, Amir lagi nunggu film kartun tapi yang ditayangkan malah berita tentang banjir. Selain Jakarta, sekarang ini banyak sekali daerah yang terkena banjir ya Yah,” aku menunjuk kearah TV yang sedang menyiarkan berita dari daerah yang terkena banjir.
Ayah hanya tersenyum mendengar jawabanku. “Ya sudah, kamu nonton berita banjir saja,” usul ayah. “Sekali-sekali nonton berita di TV bagus untuk menambah wawasan dan pengetahuan kamu tentang keadaan di daerah lain di Indonesia bahkan di luar negeri.
Kalau begitu ayah mandi dulu ya, ngobrolnya kita lanjutkan nanti malam saja yaa..,” ayah menepuk pundak ku kemudian meninggalkan aku yang masih saja mengutak-atik remote control untuk mencari kalau-kalau saja ada acara yang bagus selain berita banjir itu.
Setelah mengulang pelajaran tadi pagi dan menyelesaikan PR dari pak guru, aku dan ayah duduk-duduk diruang keluarga untuk mengobrol. Biasanya ayah menanyakan tentang pelajaran dan kegiatan apa saja yang sudah aku lakukan selama di sekolah.
“Bagaimana Mir, apa kamu masih kesal dengan berita banjir tadi,” tanya ayah membuka pembicaraan.
“Sudah tidak lagi sih Yah tapi sekarang Amir sedang bingung...,” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ayah sudah memotongnya, “loh...kok bingung?” ayah bertanya dengan wajah penasaran.
“Amir tidak mengerti mengapa setiap musim hujan Jakarta selalu kebanjiran ya,” jawab ku.
“Kadang-kadang tidak ada hujan pun ada daerah yang kebanjiran, katanya sih banjir kiriman dari Bogor.
”Ayah mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Itu karena letak Bogor lebih tinggi bila dibandingkan dengan Jakarta. Ketika di Bogor hujan, airnya akan mengalir ke Jakarta melalui sungai karena pada dasarnya air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Di Bogor sering sekali hujan, oleh karena itu Bogor mendapat julukan sebagai kota hujan.
Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan ayah yang panjang lebar itu kemudian berkata, “pembawa acaranya bilang penduduk Jakarta sering membuang sampah disaluran drainase. Ketika hujan, air tidak bisa mengalir karena saluran drainase itu tersumbat sampah sehingga air meluap kejalanan.”
Ayah mendengarkan penjelasanku dengan cermat. Aku berfikir sejenak, “saluran drainase itu apa sih Yah? Selain itu, katanya Jakarta sudah kekurangan tempat penyerapan air tapi Amir tidak mengerti apa maksud kata-kata itu yah,tanya ku pada Ayah??.
Ayah akan menjelaskannya tapi kamu harus mendengarkan dan mencoba untuk memahaminya ya,” jawab Ayah. “Saluran drainase itu semacam selokan atau got yang ada di pinggir jalan atau pun perumahan. Saluran drainase berfungsi untuk mengalirkan air hujan ke sungai dan melalui sungai itulah air akan mengalir ke laut.
Apabila saluran drainase dipenuhi sampah maka air hujan tidak bisa ditampung di dalamnya sehingga menyebabkan banjir.
Penjelasan Ayah panjang sekali tapi aku jadi mulai mengerti apa yang menjadi penyebab banjir di Jakarta. Ayah melanjutkan kata-katanya, “Tanah di Jakarta banyak yang diaspal dan dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan bangunan seperti rumah, mall, gedung bertingkat dan lainnya sehingga hanya sedikit tanah yang tersisa. Padahal tanah berfungsi sebagai tempat penyerapan air.”
Ayah berhenti sejenak karena melihat wajahku yang agak kebingungan kemudian berkata, “sebagai contoh, kalau kamu menyiramkan air ke halaman belakang, air yang kamu siramkan pasti akan hilang karena meresap kedalam tanah tapi kalau kamu siramkan kejalan beraspal, air itu akan menggenang karena tidak dapat terserap kedalam tanah.
”“Oh...ternyata begitu ya Yah, Amir baru tahu,” kataku sambil mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.“Ini diminum dulu susunya, setelah itu baru dilanjutkan lagi ngobrolnya,” bunda menyela pembicaraan kami dengan membawakan segelas susu untukku.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan malam sebelum tidur, aku suka sekali minum susu. Kata bunda, susu mengandung kalsium, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga aku bisa tumbuh sehat dan pintar. Setelah menghabiskan susu itu aku pun langsung bercerita lagi kepada ayah.
“Tadi Amir juga melihat banjir bandang yang terjadi di Sulawesi, ehm...kalau tidak salah di daerah Sinjai dan Bulukumba. Mengerikan sekali Yah, banjir bandang bisa bikin rumah penduduk pada rubuh, jadi mereka harus pindah ketempat lain yang lebih aman dan tinggal ditenda-tenda penampungan, Amir jadi kasihan melihatnya,” aku menceritakan apa saja yang terjadi disana.
“Banyak tanaman padi yang rusak sehingga petani mengalami kerugian, padahal sebentar lagi akan panen,” kataku.
“Yang lebih menyedihkan, sekolah-sekolah juga banyak yang rusak karena banjir, jadi mereka terpaksa harus diliburkan.
Sebentar lagi kan ujian, bagaimana mereka bisa belajar dan mengikuti ujian ya?” Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau hal itu terjadi padaku, pasti mengerikan sekali.
“Wah, ternyata Amir sudah bisa jadi komentator acara di televisi ya?” kata bunda sambil tersenyum.
“Itu lah gunanya menonton berita di TV, kita jadi tahu segala sesuatu yang terjadi di daerah lain.”
“Tapi bagaimana dengan banjir bandang di Sulawesi yah, Amir lihat disana masih banyak tanah yang bisa dijadikan sebagai tempat penyerapan air,” aku bertanya lagi kepada ayah karena ingin tahu.
“Banjir di Sulawesi itu terjadi akibat penebangan liar,” ternyata kali ini giliran bunda yang menjawab pertanyaanku.Penebangan liar...apa maksudnya ya? Setahuku yang ditebang itu kan pohon tapi kenapa bunda mengatakan penebangan liar, aku jadi bingung.
“Penebangan liar itu apa sih bunda..?, Amir baru mendengar kata-kata itu,” tanya ku pada bunda.
Bunda tersenyum kemudian menjawab pertanyaanku, “penebangan liar itu maksudnya pohon-pohon besar yang ada di hutan seperti pohon jati, pinus dan lainnya ditebang kemudian kayunya dijual. Yang menjadi masalah adalah mereka yang menebang pohon tidak mau menanam bibit pohon yang baru sehingga hutan menjadi gundul.”
“Lalu apa hubungannya dengan banjir yang terjadi bunda?” tanya ku lagi. “yang penting kan air hujannya terserap kedalam tanah,” aku protes dengan jawaban bunda.
“Airnya memang terserap kedalam tanah tapi tidak ada yang menahan resapan air itu,” jawab bunda. Kemudian ayah menambahkan kata-kata bunda, “akar pohon berfungsi untuk menyimpan air yang terserap didalam tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Kalau tidak ada akar maka akan terjadi longsor karena tanah tidak mampu menahan aliran air hujan.
”Dari kata-kata ayah dan bunda itu aku membuat kesimpulan, “jadi, hutan sangat penting bagi kehidupan manusia ya?”
“Tidak hanya manusia, hewan juga butuh hutan sebagai tempat tinggal,” jawab bunda. “Karena tidak memiliki rumah dan sering diburu, banyak hewan yang akhirnya punah.”
Kemudian ayah berkata, ”kamu sudah paham dengan apa yang sudah dijelaskan ayah dan bunda belum?” ayah bertanya untuk memastikan bahwa aku sudah mengerti dengan penjelasan mereka.
“Iya, Amir sudah paham sekarang,” jawabku dengan penuh keyakinan.
“Kalau begitu, supaya tidak banjir lagi kita harus selalu menjaga lingkungan dengan cara membuang sampah di tempat sampah supaya saluran drainase tidak tersumbat ketika hujan.
Selain itu, jika ingin menebang pohon di hutan, kita harus menanam pohon yang baru untuk menggantikan pohon yang lama. Kata-kata Amir benar kan?” tanyaku.
“Iya benar, kamu memang anak yang pintar,” jawab ayah dan bunda bersamaan sambil tertawa. Akhirnya kami menghentikan pembicaraan karena hari sudah malam.
Aku berharap Jakarta dan tempat lainnya tidak banjir lagi. Aku akan mengajak teman-teman untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan sehingga kejadian banjir itu tidak akan terjadi di daerahku.
Komentar