Nama ku Siti Nurjannah. Aku tinggal di sebuah desa terpencil yang sangat indah dan sejuk, disana sini masih terlihat hijaunya pohon dan terdengar merdunya kicau burung. Hidupku sangatlah bahagia. Namun, sejak bapakku meninggal 3 tahun yang lalu akibat kecelakaan, ibu harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan kedua adikku yang masih kecil. Sebagai anak pertama, aku harus membantu ibu mencari uang dengan cara menjual kayu bakar, hasil kebun dan ternak di pasar. Meski demikian, hidup kami masih terbilang pas-pasan.
“Siti…ayo bangun, adzan Subuh sudah berkumandang,” ibu membangunkan ku untuk shalat Subuh. “Selesai shalat, kamu langsung mandi kemudian sarapan ya. Hari ini kita harus mengantar kayu pesanan mbah Binah.”
“Baik bu,” sambil mengusap-usap mata dan menguap aku beranjak dari tempat tidur.
Sebenarnya aku mengantuk sekali, semalam aku belajar hingga larut karena akan mengikuti ujian masuk SMP. Nilai-nilai ku harus bagus supaya bisa mendapatkan beasiswa yang disediakan oleh pak Lurah untuk anak-anak kurang mampu yang berprestasi. Aku berusaha mendapatkan beasiswa itu demi melanjutkan sekolahku, dengan demikian aku bisa sedikit meringankan beban ibuku.
“Memangnya mbah Binah pesan berapa ikat kayu bu?” aku bertanya sambil melahap nasi dan tempe bacem yang sudah disediakan ibu untuk sarapanku pagi ini.
“Beliau pesan 3 ikat, makanya ibu minta bantuanmu karena tidak bisa membawanya sendirian. Kita harus berangkat pagi-pagi sekali supaya kamu tidak terlambat ke sekolah,” jawab ibu. Lalu aku bertanya lagi,”bagaimana dengan adik-adik bu?”
“Mereka ibu titipkan pada bulik Yati, biar nanti dia yang mengantar ke sekolah.” Ibu menjelaskannya sambil menyiapkan kayu-kayu yang akan kami bawa.
Bulik Yati adalah adik kandung bapak ku, beliau sering membantu keluargaku terutama menjaga kedua adikku ketika ibu sedang mengantar kayu atau berjualan di pasar. Kebetulan kehidupannya sangat cukup sehingga tidak perlu bekerja seperti ibu.
Selesai mencuci piring dan membereskan meja, aku segera menggendong seikat kayu dipunggungku, sedang dua ikat lainnya dibawa oleh ibu dengan pikulan. Aku jadi teringat ketika pertama kali harus menggendong ikatan kayu bakar tersebut. Baru beberapa langkah berjalan, aku sudah minta berhenti untuk istirahat karena punggungku terasa sakit dan pegal. Namun dengan sabar ibu selalu menunggu dan memberiku semangat serta nasihat sehingga sampai saat ini rasa sakit dan pegal itu tidak lagi kurasakan.
“Ayo kita berangkat, mumpung matahari belum bersinar terlalu panas,” kata-kata ibu membuyarkan lamunanku. “Baik bu,” aku pun segera mengikuti langkah ibu dari belakang.
***
Ternyata mbah Binah sudah menunggu kedatangan kami. Beliau segera menghampiri dan membantuku menurunkan kayu dari punggungku. Sambil tersenyum dia berkata “Untung kalian datangnya pagi sekali, persediaan kayuku sudah habis. Kebetulan hari ini ada yang memesan wajik dan ketan dalam jumlah yang banyak untuk hidangan acara pernikahan.”
“Hari ini Siti akan ikut ujian masuk SMP, kami sengaja mengantarkannya pagi-pagi supaya Siti tidak terlambat ke sekolah,” ibu memberikan penjelasan kepada mbah Binah.
“Kalau begitu kamu makan saja dulu, mbah sudah menyiapkan nasi dan telur goreng kesukaanmu,” tawar mbah Binah kepadaku. Akupun langsung menjawabnya, “terima kasih mbah tapi kebetulan aku sudah makan. Kalau boleh nasi dan telurnya dibungkus saja untuk makan siangku nanti,” jawabku sambil tersipu-sipu malu sedang mbah Binah hanya tertawa mendengar jawabanku.
Mbah Binah adalah pelanggan yang sering memesan kayu bakar. Beliau sudah menganggap kami berdua seperti keluarganya sendiri sehingga aku pun tidak malu-malu lagi ketika ditawari makan olehnya karena ibu pun tidak melarangku untuk menerimanya. Kata ibu anggap saja itu adalah rejeki yang diberikan oleh Allah SWT karena aku sudah mau bekerja keras. Selain itu, kami juga sering diberi kue-kue buatannya karena beliau adalah seorang penjual kue, hanya saja beliau tidak perlu berkeliling kesana kemari untuk menawarkan jualannya karena beliau memiliki toko kue.
“Kalau sudah cukup istirahatnya lebih baik kamu segera berangkat,” ibu berkata kepadaku. “Ibu akan disini dulu untuk membantu mbah Binah membuat wajik dan ketan.”
Aku beranjak dari tempat duduk dan mencium tangan ibu, “Siti berangkat dulu ya bu. Doakan Siti supaya nanti bisa mengerjakan soal-soal ujian,” kataku.
Sambil membelai rambutku ibu pun berkata, “Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, apa pun hasilnya yang penting kamu sudah berdoa dan berusaha sekuat tenaga karena Allah SWT tidak akan mengubah keadaan seseorang kecuali dia berusaha mengubah keadaan yang ada pada dirinya.”
Kata-kata itulah yang sering ibu ucapkan untuk memberikan semangat kepadaku. Aku pun tidak lupa berpamitan pada mbah Binah. “Siti berangkat dulu ya mbah, terima kasih untuk nasi dan telur gorengnya.”
“Iya anak manis,” jawab mbah Binah sambil mencubit pipiku. “Jangan lupa berdoa dulu supaya kamu diberikan kemudahan ketika mengerjakan soal-soal ujian.” Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
Sebenarnya letak sekolah ku tidak terlalu jauh dari rumah mbah Binah namun karena terhalang sebuah sungai, aku harus memutar arah untuk melewati sungai itu melalui jembatan. Aku tiba disekolah tepat ketika lonceng tanda masuk berbunyi, aku segera berlari masuk kelas. Dengan nafas yang masih terengah-engah dan keringat yang bercucuran membasahi tubuh, aku menyiapkan alat tulis dan mulai mengerjakan soal ujian. Aku membaca pertanyaan satu persatu dengan cermat, aku harus seteliti mungkin menjawab soal-soal itu agar tidak melakukan kesalahan.
***
“Nama ibu adalah Siti Nurjannah tapi kalian bisa memanggil ibu Siti. Mulai hari ini ibu akan mengajar matematika di kelas kalian. Apa ada yang mau bertanya?”
“Saya bu...,” jawab seorang anak sambil mengangkat tangan.
“Saya juga mau tanya bu...,” kata anak yang lain tidak mau kalah sehingga kelas menjadi agak gaduh karena mereka berebut untuk bertanya.
Begitulah situasi pada hari pertama aku menganjar di SD Bintang sebagai guru bantu. Berkat beasiswa yang berhasil aku peroleh, akhirnya aku dapat melanjutkan sekolah hingga Perguruan Tinggi dan memutuskan untuk menjadi seorang guru. Bagi ku menjadi guru adalah pekerjaan mulia karena guru memberikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya.
Komentar