“Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa?
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa?
Kita jadi pintar dididik pak guru, Kita bisa pandai dibimbing bu guru,
Gurulah pelita penerang dalam gulita, Jasamu tiada tara…”
Kita pasti sudah mengetahui bahkan hapal dengan lirik lagu tersebut diatas. Lagu tersebut menggambarkan bahwa sebuah pendidikan tidak akan berjalan tanpa adanya seorang guru yang mengajarkan beraneka macam bidang ilmu kepada anak didiknya sehingga kehadiran seorang guru dalam dunia pendidikan sangatlah penting.
Terkait dengan hal tersebut diatas, untuk mewujudkan akses pendidikan yang meluas, merata dan berkeadilan maka menurut saya hal utama yang harus digaris bawahi dan diperhatikan adalah masalah pemerataan guru baik secara kualitas (mutu) maupun kuantitas (jumlah) di seluruh wilayah Indonesia.
Seperti kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dimana wilayahnya terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri, ada wilayah yang didominasi oleh gunung dan bukit, sungai, hutan, padang tandus dan lain sebagainya dan masing-masing memiliki tantangan tersendiri untuk dilalui dan dihadapi. Sudah banyak cerita bagaimana perjuangan seorang guru dan anak didik yang harus melalui rintangan-rintangan tersebut demi bisa mengajar dan mendapatkan ilmu.
Dengan adanya hambatan dan tantangan tersebut menyebabkan hanya sedikit orang yang mau dan sanggup untuk mengabdikan dirinya untuk mengajar di daerah-daerah terpencil bahkan mungkin jauh dari peradaban dengan fasilitas yang sangat minim. Jangankan gedung sekolah, bahkan tempat untuk mengajar yang sering disebut ruang kelas pun tidak ada. Jangankan komputer, bahkan alat tulis seperti buku dan pensil pun tidak ada.
Sebagai contoh adalah pengabdian dari seorang perempuan Indonesia keturunan Batak Toba, Sumatera Utara bernama Saur Marlina Manurung yang lahir di Jakarta, 21 Februari 1972 adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana gadis Batak lainnya, ia biasa dipanggil "Butet" dan kini namanya lebih dikenal sebagai Butet Manurung.
Sejak tahun 1999, Butet telah mengabdikan dirinya untuk mengajar baca-tulis bagi suku Anak Dalam atau Kubu di Taman Nasional Bukit 12 (TNBD) dan Bukit 30, Provinsi Jambi. Meski pada awalnya sempat mendapat penolakan dari masyarakat Rimba itu sendiri karena menganggap pendidikan merupakan budaya luar dan bukan budaya Orang Rimba namun dengan usaha yang pantang menyerah, akhirnya mereka mau belajar membaca dan menulis bahkan dia berhasil mencetak “pengajar-pengajar muda” yang sudah mahir untuk menularkan ilmunya kepada anak lainnya.
Sokola Rimba (sekolah rimba) yang dia bangun hanya berbentuk dangau kecil tak berdinding yang bersifat nomaden. Jadi jika tak dibutuhkan lagi bisa segera ditinggalkan. Jika ditanya, dimana alamat Sokola Rimba itu, maka dengan mudah Butet menjawab, "Pada koordinat 01' 05' LS - 102' 30' BT." Karena sentra sekolah itu tak pasti desa maupun kecamatannya.
Untuk masalah peralatan dan perlengkapan belajar, bagi murid yang tidak kebagian alat-alat sekolah, mereka mengambil ranting dan menggarisi di atas tanah. Tak jarang, saat tiba waktunya menggambar, salah satu murid menangkap seekor kijang kecil. Binatang itu ditidurkan di atas kertas dan mulailah sang murid menggambar ruas-ruas tubuh kijang tersebut.
( Sumber : http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3178-ibu-guru-di-hutan-belantara )
Berdasarkan kisah tersebut diatas, saya kembali menarik kesimpulan bahwa hal terpenting dari sebuah pendidikan adalah adanya guru yang mengajar karena belajar bisa dilakukan kapanpun dan dimana saja dengan menggunakan alat tulis dari bahan apapun, toh pada jaman dahulu kertas dan pensil bahkan komputerpun belum ada namun kita dapat mengetahui sejarah berdasarkan peninggalan-peninggalan sejarah yang tertulis pada daun lontar, batu prasasti dan bahkan di dalam gua.
Namun yang kembali menjadi pertanyaan adalah seberapa banyak orang yang disebut sebagai guru mau dan sanggup mengabdikan dirinya untuk mengajar di daerah-daerah terpencil dan terisolir seperti yang dilakukan oleh Butet Manurung? Seberapa banyak orang yang mau mengajar tanpa “imbalan” apa-apa? Saya memang tidak punya data yang pasti namun saya yakin masih sedikit orang yang mau melakukan hal itu.
Untuk mewujudkan akses pendidikan yang meluas, merata dan berkeadilan melalui pemerataan guru baik kualitas maupun kuantitas diseluruh wilayah Indonesia, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengajar didaerah terpencil sebagai syarat kenaikan pangkat bagi PNS
Seperti kita ketahui, guru yang mengajar di sekolah negeri pada umumnya adalah seorang PNS dan biasanya akan naik pangkat dan golongan setiap 4 tahun sekali. Berbeda dengan PNS lainnya, mereka akan pensiun pada usia 60 tahun. Untuk itu, menurut saya ada baiknya mereka melakukan “magang” didaerah terpencil untuk beberapa bulan sebagai syarat kenaikan pangkat dan golongan. Sehingga daerah-daerah yang kekurangan pengajar disekolahnya dapat sedikit terbantu karena mendapatkan tambahan tenaga untuk mendidik siswa dan siswi disekolah terpencil tersebut.
Pemerintah juga dapat menerapkan sistem rolling para guru dipulau Jawa untuk mengajar didesa-desa terutama di wilayah timur Indonesia sehingga mereka tidak perlu sampai “keluar” daerahnya hanya untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Seperti kita ketahui, bagi mereka yang memiliki dan sanggup menyekolahkan anaknya di Pulau Jawa beralasan karena pendidikan disana lebih berkualitas dengan fasilitas pendidikan dan para pengajar yang lebih berkualitas dibandingkan dengan fasilitas dan pengajar yang ada didaerahnya.
2. Mengajar didaerah terpencil sebagai syarat mendapatkan Tunjangan Profesi Guru
Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang guru mengamanatkan pemberian Tunjangan Profesi Guru kepada guru (baik PNS maupun Non PNS) yang telah memenuhi persyaratan serta telah tersertifikasi.
Seperti hal diatas, ada baiknya tunjangan tersebut diberikan kepada guru setelah mereka mengajar didaerah terpencil dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia dalam waktu tertentu dan selalu dievaluasi beberapa tahun sekali sehingga “ketersediaan” tenaga pengajar akan selalu terpenuhi sehingga para guru yang terbiasa dengan fasilitas lengkap yang sudah tersedia ditempatnya mengajar dapat memacu mereka untuk “belajar kreatif” dalam mengajar dengan fasilitas yang seadanya. Hal ini juga bertujuan untuk mengatasi “kebosanan” seorang guru yang harus mengajar disebuah sekolah yang itu-itu saja.
3. Kuliah Kerja Nyata bagi Calon Guru
Untuk yang satu ini mungkin sudah dijalankan oleh hampir semua Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Saat kuliah dulu, saya pun pernah mengalaminya meskipun saya tidak mengambil jurusan pendidikan dan bukan calon guru. Pada saat KKN dulu, saya dan teman-teman ikut membantu mengajar di sekolah yang ada diwilayah tersebut. Ada yang mengajar matematika, bahasa dan hal kecil seperti menyampul buku. Hanya saja, meskipun masih bisa disebut “desa” namun tetap saja tempat saya KKN tidak bisa dibilang daerah terpencil sehingga menurut saya ada baiknya menyebar para mahasiswa terutama yang memang merupakan calon guru untuk mengajar didaerah-daerah yang benar-benar terpencil dan jarang orang mau mengajar disana sehingga anak-anak didaerah tersebut dapat menikmati pendidikan yang sama berkualitasnya seperti daerah lain.
Selain kewajiban-kewajiban yang harus diemban oleh seorang guru, mereka juga harus diperhatikan haknya seperti Pemerintah Daerah setempat minimal kepala desa menyiapkan tempat tinggal untuk mereka selama mengajar didaerahnya sehingga mereka dengan senang hati dan sukarela mengajar ditempat tersebut sehingga memberikan manfaat bagi anak-anak yang diajarkan.
Tulisan ini diawali dengan lagu dan akan ditutup pula dengan sebuah lagu yang menggambarkan jasa seorang guru.
“Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubari ku
Semua baktimu akan ku ukir didalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku tuk pengabdian mu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa...”
Komentar